Sewindu




Sewindu
Created by : ulfa afril
Semarang, 24 Januari 2017


Kata orang 'Tidak ada yang murni dari persahabatan sepasang manusia. Selalu melibatkan perasaan diantaranya. Apakah aku percaya? Mungkin jika kalimat itu kudengar 10 tahun yang lalu saat aku masih memakai seragam putih-biru, aku akan tertawa lantang dan mengatakan dengan mudahnya "is that a joke? ".


"Al, menurutmu bagusan mana? Putih atau item ya? " kupandangi dua kemeja yang di sodorkan di depanku. Putih, sepertinya lebih Bagus untuk di pakai gadis ini.

"Putih aja deh, gi. Kayaknya lebih cocok di pakek kamu. Eh, tapi jangan deh. Entar jadi coklat lagi. Kamu kan jorok " kataku seraya tertawa lebar yang membuat gadis di depanku cemberut lucu. Gemas sekali rasanya.

Hagia elleanka Dirgantara, bagaimana aku harus menyebutnya? Gadis? Ah umurnya saja tahun ini sudah menginjak 26 tahun, apa masih pantas aku menyebutnya seorang gadis. Wanita? Sayangnya sikapnya melebihi seorang gadis umur 15 tahun.

"Makan yuk, Al. Gigi laper banget tauk " lihatkan? Caranya merengek persis seperti anak umur 7 tahun dengan suara yang dibuat-buat. Aku tahu dia pasti ada maunya sekarang.

"Makan dimana? " kataku akhirnya, sambil melihat ke sekeliling mencari restaurant yang pas untuk makan siang kami sekarang.

"Korean food aja please. Kangen tauk makan korea " ah, mata merajuk itu lagi. Aku selalu sebal dengan mata itu. Dia akan berbinar memohon dan pada akhirnya aku akan menyetujui tanpa pikir panjang.

"Yaudah, yuk. Kita kejar waktu. Jam istirahat kita hampir selesai" aku menarik tangannya dan dihadiahi senyum lebar. Senyum yang menyejukkan sekali.

Hagia adalah gadis manis dengan perawakan tubuh rata-rata wanita Indonesia. Kulit putih langsat, mata bulat berbinar, hidung kecil yang pas, bibir mungil, lesung pipi dan juga gigi kelinci membuat dia begitu terkenal di kalangan lelaki sekitarku. Dia menyenangkan, kata teman-temanku. Tapi sayangnya dia menyebalkan menurutku.

Hagia dan Alvian adalah kembar siam, itu kata orang di sekitar kami. Memang benar adanya, jika kalian melihatku maka kalian akan melihat Hagia tak jauh dariku. Ya, dia adalah sahabat seumur hidupku. Bagaimana aku bisa kenal Hagia? Sesimpel semua orang memiliki sahabat. Kebetulan rumah kami berseberangan dan dari bayi hanya muka dia yang bisa kutemui setiap keluar rumah. SD, SMP, bahkan SMA kami selalu satu sekolah, baru kuliah kami yang berbeda.

" dah, Alvian. Hati-hati sampek kantor. Gigi sayang alvian " aku hanya mencibir dan melajukan mobil keluar dari salah satu bank swasta tempat Hagia bekerja. Dia adalah seorang teller di bank swasta tersebut. Aku tersenyum dalam diam saat mengingat dia mengatakan sayang padaku. Yah,sebenarnya setiap hari dia selalu mengatakan itu. Sayangnya, aku tidak merasakan kata itu kepadanya. Aku merasakan hal lain. Aku.... Mencintainya.

**

'Karena ketika seorang pria jatuh cinta, semua orang akan tahu. Kecuali wanita yang dicintainya'

"Al,wisnu mutusin aku" gigi menangis, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. aku tak suka ini. Dia selalu berlari kearahku lalu menangis karena di sakiti lelaki lain. Aku membenci para lelaki itu yang begitu mudah menghancurkan hati seorang wanita manis seperti Hagia.

"Kok bisa? Kenapa gi?" isakan gigi semakin kuat. Kupeluk erat tubuhnya agar dia lebih merasa tenang. Apakah kalian pikir melihat orang yang kalian cintai menangis itu tidak menyakitkan? Sangat menyakitkan. Bahkan bagiku, aku rela saja jika Hagia tertawa bersama lelaki lain daripada menangis seperti ini.

"Nggaktau, tiba-tiba aja wisnu mutusin aku, Al. Hagia kurang apa sih? Hagia sayang banget sama Wisnu" kurentangkan pelukanku, lalu kuhapus air mata yang sudah mengalir di pipi putihnya. Andai saja kamu tahu gi, disini di depanmu ada lelaki yang begitu tulus mencintaimu dan takkan pernah membuatmu menangis seperti ini. Sayangnya kamu tidak pernah tahu itu.

**

Kuedarkan layar kameraku menuju ke objek yang sedang berpose diujung sana.  Konsentrasiku bubar, hanya karena tatapan seorang wanita di pojok ruangan ini. Aku sedang bekerja, tapi dengan santai nya tiba-tiba Hagia datang dan membuat semua konsentrasiku buyar. 

"oke, selesai ya untuk hari ini. Terima Kasih semuanya" tak kuhiraukan semua ucapan terimakasih dari para kru ku. Aku berjalan menuju kearah gadis yang sudah tersenyum lebar kepadaku.

"Ngapain kesini? " tanyaku langsung tanpa basa-basi.

"gitu ya? Jahat banget nggak boleh kesini. Gigi mau ajak Al makan. Aku traktir deh" katanya dengan bersemangat, aku mengernyit heran. Sepertinya ada sesuatu. Bukankah beberapa Bulan ini dia begitu terpuruk karena kehilangan wisnu? Kenapa sekarang begitu bersemangat?

Hagia menarik tanganku saat kami sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan happening di Jakarta akhir-akhir ini. Ah, aku tak suka ke tempat ini. Aku sudah berumur 26 tahun dan diajak ke cafe yang isinya hanya anak SMA? Sungguh tidak menyenangkan.

"Gigi balikan lagi sama wisnu, Al" katanya dengan semangat, membuatku yang sedang meminum grean tea tersedak dengan keras.

"Kenapa harus balikan lagi? Bukannya kalian udah putus ya? " gigi hanya terkikik geli saat melihat perubahan wajahku yang mungkin sudah memerah menahan panas mendengar beritanya.

"Ya kan balikan, al. Wisnu minta maaf gitu sama gigi, terus kan gigi masih Cinta sama dia. Yaudah, gigi maafin dan kami balikan deh " gigi menceritakannya seperti baru saja mendapatkan durian runtuh. Dia begitu senang, tapi entah kenapa aku meradang.

"Gi, kamu sudah di campakan sama dia, dan sekarang kamu dengan gampangnya balikan sama dia? Apa sih yang ada di otakmu? " suaraku meninggi. Aku benar-benar marah sekarang.

"Dia udah minta maaf, al. Dan gigi masih Cinta sama dia. Lalu permasalahannya itu dimana? " aku tahu sekarang Hagia mulai terpancing emosi, suaranya meninggi dan matanya sudah berkaca-kaca. Untungnya kami berada di sekitar meja yang masih sepi. Hanya ada kami berdua di sudut ini.

"Hagia. Dia tidak baik buat kamu. Dia sudah membuangmu, kau ingat itu? Putuskan dia " kataku final dengan mata yang semakin menunjukkan kemarahan dan suara yang ketus.

"Ini hidupku, pilihanku dan bukan urusanmu " hagia berdiri dengan mata yang sudah basah. Dia pergi dari cafe ini dengan cepat. Aku sedang tak ingin mengejarnya. Tipikal Hagia adalah lari dari masalah saat emosi nya sedang meluap. Mengejarnya akan menimbulkan perdebatan yang lebih besar.

Aku menghela nafas dan meminum grean tea ku sekali lagi. Aku lelah, karena begitu lama menghancurkan hati sendiri. Kenapa aku bisa mencintai Hagia? Entahlah, yang kutahu aku begitu menyukai rengekan manjanya yang hanya ditujukan kepadaku. Aku begitu menyukai sifat kemandiriannya saat dia harus berjuang sendiri. Aku begitu menyukai ketegarannya saat sang ayah berpulang 5 tahun yang lalu. Aku menyukai senyum menenangkan yang dia punya. Menyukai segala hal dari dirinya.

Sejak kapan aku mencintai Hagia? Aku juga tidak begitu tahu tepatnya. Kami bersahabat semenjak lahir hingga sekarang. Sudah 26 tahun kami saling mengandalkan. Yang aku tahu 8 tahun yang lalu, tepatnya di hari kelulusan kami. Aku mulai merasakan debaran saat dia memelukku memberikan selamat karena nilai yang kucapai. Semenjak itu rasanya bersentuhan dengannya menimbulkan aliran listrik yang menyenangkan. Hagia, apakah waktu sewindu tak cukup membuatmu berbalik mencintaiku?

**

Sudah 6 Bulan Purnama aku tidak juga berbaikan dengan Hagia. Kami saling bertemu tapi dalam keadaan tidak di rencanakan. Kadang di depan rumah saat kami sama-sama akan pergi, kadang di minimarket dekat kompleks, atau saat kami lari pagi. Tapi, kata maaf belum ada yang terucap dari dua mulut kami. Kami masih saling berbicara seperlunya, tapi tak pernah mengungkit masalah di cafe waktu itu. Aku merasa bersalah, tapi rasanya aku masih marah. Apalagi hingga sekarang, wisnu tetap saja ada di sekitaran Hagia. Aku melihatnya sekitar 2 Bulan yang lalu saat menjemput Hagia.

"Al, dibawah ada Hagia tuh. Mau ketemu kamu katanya. Kamu kan akhir-akhir ini sibuk banget keluar kota, dia pasti kangen " suara mama membuatku mem-pause game yang sedang kumainkan.

"Suruh naik aja ma " kataku sambil membereskan beberapa baju yang masih berada di lantai kamar.
Hagia masuk kamarku dengan canggung. Entah apa yang terjadi kepadanya tapi kurasakan ada yang berbeda. Dia menunduk dan aku mengangkat kepalanya dengan telunjukku.

"Hei, are you okey? " tanyaku dan hanya dihadiahi isakan Hagia. Aku tau ada yang tidak beres disini.

"Al, apakah kamu masih mau berteman denganku jika aku melakukan sebuah kesalahan besar? " aku mengernyit tak mengerti dengan arah pembicaraannya.

"Maksud kamu? " Hagia semakin terisak dan aku semakin bingung dibuatnya. Aku tahu Hagia, dia jarang sekali menangis. Dia ini wanita tertegar yang aku kenal.

"A... Aku hamil, al " seperti sebuah petir yang menyambar langit. Kabar ini juga membuat hatiku hancur. Hatiku sakit dan remuk dengan mudahnya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi, ini terlalu menyakitkan.

"Gi, jangan bercanda. Ini nggak lucu " kataku diiringi tawa hambar. Aku ingin lihat setelah ini hagia tersenyum dan tertawa lantang di depanku, namun yang aku dapati malah dia semakin terisak bahkan hampir meraung di depanku.

"Anak siapa? Wisnu? Apa dia tidak mau bertanggung jawab? " kataku menggoyang badannya, dia menggeleng dengan kuat membuatku berhenti dari cekalan pundaknya.

"Iya, ini anak wisnu, tapi dia mau bertanggung jawab. Makanya aku kesini, ingin menyerahkan ini " hagia mengeluarkan sebuah kertas putih dari dalam tas nya. Jangan, jangan sampai itu yang aku pikirkan. Dan saat kertas itu tepat berada di depanku. Langitku runtuh. Bahkan sekarang remuknya lebih dari saat tahu dia hamil.

"Acaranya dua minggu lagi, semoga kamu bisa dateng " Hagia mencoba tersenyum di depanku, aku hanya termenung tak berniat mengambil kertas yang disodorkan di hadapanku.

"Kenapa gi? Aku sudah mencintaimu sejak 8 tahun yang lalu, sudah sewindu aku menunggu dan selalu ada buat kamu. Kenapa dengan mudahnya kamu menghancurkan semuanya? " mataku memanas, ah aku lelaki kenapa ingin menangis begini. Lemah sekali kamu, alvian.

"Al, aku tidak tahu perasaanmu, maaf " kuperhatikan lekat mata bulat itu. Dia mengeluarkan air mata lebih banyak lagi. Tak kuasa aku menariknya dalam pelukan.

"Ini detak jantung selama sewindu setiap kali aku bersamamu. Aku mencintaimu dengan tulus, gi. Sangat tulus " kataku tertahan dengan memejamkan mata agar air mata ku tak keluar.

"Maaf, al. Aku menganggapmu seperti kakak sendiri, seseorang yang melindungiku. Aku tak pernah merasa lebih dari sayang al " katanya semakin membuatku mencelos. Ternyata selama ini aku yang selalu berharap banyak. Nyatanya Hagia bahkan tidak merasakan apapun kepadaku. Sewindu aku menunggu tapi tak mendapatkan apa-apa. Kasihan sekali kau al.

Hagia melepaskan pelukanku lalu berdiri. Dia mengatakan kata maaf tanpa bersuara dan berlalu pergi dari kamarku. Aku bersandar ke ranjang, dan menatap nanar kertas putih dengan tinta emas di hadapanku.

Wisnu Adyaksa & Hagia elleanka Dirgantara
14 Februari 2017

Ah, sakit sekali ternyata. Mungkin aku akan ikut berbahagia dan mengucapkan selamat dengan tulus jika dia memulai ini dengan baik. Sayangnya dia memulai dengan menghancurkan dirinya sendiri. Aku kecewa sekali dengan Hagia. Dia menghancurkan diri sendiri demi lelaki yang bahkan pernah membuangnya. Ku usap nama Hagia di atas kertas putih itu, kupejamkan mata. Ternyata Sewindu, bukan bahkan seumur hidupku Hagia tak pernah bisa belajar mencintaiku. Dan semenjak hari ini, sebelah hatiku di paksa untuk mati.

***

Inspired by Tulus - Sewindu

Komentar

Postingan Populer